Kamis, 01 Juni 2017

CERPEN: Sembilan Puluh Sembilan Persen ( 99% )

Kata orang, semakin banyak kita bersahabat, akan semakin banyak pula warna di hidup kita. Sahabat, adalah mereka yang dengan setia menghibur kita serta menerima kekurangan kita. Sahabat bisa datang dari mana saja, bahkan dari situasi yang tak terduga. Sahabat adalah keluarga yang dapat kita pilih sendiri. Sahabat, sahabat, dan sahabat. Sebenarnya sahabat itu apa sih?

“Hai guys. Kali ini kami mau meng-update sedikit keseharian kami. Say hi dong Nina!” gadis itu merangkul sahabatnya.

“Haaaiiiii...” jawab sahabatnya sambil tersenyum lebar.

“So, what’s next?” tanya gadis itu sambil mengarahkan kamera ponselnya ke wajah orang yang dirangkulnya.

“Uhm, we wanna share about our daily activity, right?”

Gadis itu pun memasang wajah serius sejenak, lalu tersenyum jahil, “ Ofcourse babe. We’ll make ‘em jealous of us!” Kata terakhir Ia sebutkan dengan wajah yang sangat menyenangkan, senyum lebar dan matanya yang berubah menjadi segaris saat tersenyum. Gadis itu dengan semangat menceritakan aktivitas yang biasa mereka lakukan mulai dari pagi hingga sore hari.

“And every Saturday night we often stay at her home. Watching some kinds of movie, my favorite one is comedy but she likes romance more. Anyway we have no boyfriend. Hahaha. I’ve been a single girl for about a year, but she is a new broken-heart-addict. Her last boyfriend was left her coz there is a new student in our school, yeah I think her ex has a high standart hahaha,” katanya sambil tertawa puas karena berhasil mengejek habis-habisan. Dia tak pernah peduli akan benar atau salahnya grammar yang Ia gunakan. Seperti yang Mr. Sam ajarkan, bahasa inggris yang baik bukanlah yang susunannya benar, tetapi yang dapat dimengerti oleh lawan bicara.

“Ehh jangan ngomongin high standart dong Vi. Emang aku sejelek itu ya?” sahabatnya memasang wajah manyun seperti bebek.
Dia langsung mengarahkan handphonenya ke wajah sahabatnya itu sambil berkata, “Nggak dong, Na. Pokoknya Nirwana adalah gadis tercantik yang pernah aku temui. Tercantik kedua deh, setelah Ibuku hehe.”

Nirwana dan Nevi adalah sahabat dari SMP. Mereka bertemu saat hari ketiga masuk sekolah, dan menjadi akrab saat duduk sebangku di kelas yang sama. Kini umur mereka sudah lewat 15 tahun. Mereka bersekolah di tempat yang sama, sebuah SMA di pusat kabupaten. Tidak terlalu bagus dan berkualitas memang, tapi tidak terlalu buruk juga. Bagi mereka, sekolah ini pas. Pas dengan tujuan, pas dengan kantong orang tua.  Maklum saja, orang tua Nina adalah seorang pengusaha kain kecil-kecilan di kota dengan penghasilan tak menentu. Namun hal ini tak menjadi alasan bagi Nina untuk berhenti sekolah.

“Biar ayah dan ibu yang capek cari uang, kamu belajar aja yang serius. Sukses atau hancur hidup kamu, dirimu sendiri yang merasakannya nanti sewaktu kami udah gak ada,” itulah perkataan yang selalu diucapkan Ayah Nina saat Ia hendak membantu ayahnya bekerja. Berbeda dengan Nina, hidup Nevi terlihat sedikit lebih beruntung. Ayahnya adalah seorang pensiunan PNS yang sekarang hanya mengurus lahan sawit milik keluarga, sedangkan ibunya sudah meninggal 2 tahun silam. Ya, stigma “anak PNS” yang dianggap hidup serba cukup selalu disandangkan kepada Nevi. Ia sendiri bingung, dari sisi mana anak PNS dianggap hidup serba cukup? Dari gaji maksimal 4 juta perbulan? Bahkan orangtua teman-temannya memiliki gaji lebih besar dari itu. Dari baju seragam yang berganti tiap hari? Sepertinya setelan kemeja dan jas serta bawahan celana panjang ataupun rok pendek layaknya karyawan swasta terlihat lebih keren. Atau dari jaminan hidup seperti Askes dan gaji pensiun? Jika memang begitu, buat apa ayah Nevi sampai susah payah mengurus lahan sawit milik keluarga? Hidup Nevi memang tidak kekurangan, namun juga tidak semewah yang orang lain pikirkan.

Pagi ini seluruh siswa dikumpulkan di lapangan sekolah, padahal ini bukan hari Senin. Masing-masing siswa dari kelas yang berbeda mulai berbaris sesuai tempatnya saat upacara. Bedanya tidak ada petugas upacara, juga kelompok paduan suara, ini artinya siswa dikumpulkan tidak untuk upacara.

“Eh ada apa nih? Tumben kita disuruh baris,” tanya salah seorang siswa.

“Iya ya, biasanya cuma hari Senin doang. Itupun biasanya kita kabur karena males upacara hihi,” jawab teman di depannya. Sampai saat ini masih menjadi misteri mengapa banyak siswa tidak suka mengikuti upaca setiap hari Senin.

“Sst! Liat tuh Pak Zainal udah jalan ke podium,” temannya mengingatkan.
Nina dan Nevi berdiri sejajar di barisan yang agak ke depan. Nevi sesekali berjinjit karena hanya bisa melihat kepala Pak Zainal, mengingat postur tubuhnya yang bisa dibilang lebih mirip anak kelas 3 SMP.

“Ada apa nih, Nin? Tumben disuruh baris,” tanya Nevi.

“Gak tau,” jawab Nina yang lebih fokus mendengar Pak Zainal.

“Masa gak tau sih? Kau kan anak OSIS,”

“Memang gak tau loh. Pengumuman kelas eksklusif mungkin,”

Benar saja, Pak Zainal-setelah mengucapkan hormat, sedikit menasehati siswa kelas XII, dan membicarakan disiplin-kini mulai membahas kelas eksklusif. Sesuai dengan pengumuman yang disampaikan Pak Zainal, seleksi untuk kelas eksklusif akan dimulai 2 minggu lagi. Kelas ini dikatakan eksklusif karena setengah biayanya ditanggung oleh yayasan terkemuka milik orang yang katanya terkaya kelima di Indonesia, yayasan tempat sebagian besar karyawan puluhan perusahaan milik si Orang Kaya disekolahkan. Sedangkan setengah biaya lagi ditanggung oleh kesepakatan antara pihak komite sekolah dan siswa calon peserta kelas eksklusif. Semakin tinggi poin saat seleksi, semakin murah biayanya.

“Hari ini jadi ngerjain makalah di rumah kau, Nin?” tanya Nevi saat mereka sudah sampai di kelas setelah selesai mendengar pengumuman tadi.

“Jadi dong Vi. Deadline-nya kan tinggal 3 hari lagi!” jawab Nina yang sekarang sedang duduk sambil meminum air dalam botol yang dibawanya.

“Oke oke, oh iya nanti masak mie instan yuk. Kan enak gitu sambil ngerjain makalah makannya mie instan.”

“No. Mie instan itu gak bagus buat kesehatan. Bisa buat sakit hati,” jawab Nina singkat. Nevi mengerutkan keningnya, bingung.

“What? Sakit hati? Yang bener aja deh kau Nin. Dimana-mana juga yang buat sakit hati itu kalau pacar selingkuh. Kayak dulu mantan kau selingkuh sama anak baru, itu baru buat sakit hati. Bukannya mie instan. Hahaha.” Nevi tertawa.

“Bukan sakit hati yang begituan loh Vi! Please deh jangan bahas-bahas dia lagi. Maksud aku kerusakan di organ hati. Karena di dalam mie instan itu ada Propylene glycol.”

“Propil? Propil apaan tadi?” tanya Nevi yang memang agak sulit dalam mengingat istilah-istilah zat kimia.

“Propylene glycol, Vi! Zat itulah yang selama ini menyebabkan mie tetap kering dan awet. Bahayanya zat ini dalam tubuh akan menumpuk di hati, liver dan ginjal karena zat ini tidak dapat dicerna oleh tubuh.” Nina menjelaskan  layaknya ilmuwan. Nevi mengangguk-angguk mendengar penjelasan Nina.

 “Jadi kita makan apa dong nanti?” tanya Nevi. Gadis itu memang taunya hanya makan saja.

“Nanti kita beli pecel aja, gimana?” Nina menanya pendapat temannya. Nevi mengiyakan.

***

Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu mulai beranjak. Orang bilang, makin kesini, waktu berjalan semakin cepat. Sebenarnya waktu tidaklah semakin cepat ataupun semakin lambat. Bumi masih berputar pada porosnya, itu berarti 1 hari masih tetap 24 jam. Lalu apa yang menyebabkan hari terasa berlalu makin cepat? Ambisi manusia. Manusia selalu ingin melakukan segalanya, mencapai segalanya. Tak cukup waktu yang Tuhan sediakan dalam sehari untuk menyelesaikan ambisi mereka. Manusia selalu merasa tak puas, selalu meminta lebih. Tak pernah bersyukur. Lalu ketika musibah datang, mereka sibuk berdoa dan menangis sambil merintih bahkan meronta-ronta. Berharap Tuhan menjadi “maha pengasih” dalam sehari. Padahal Tuhan selalu menjadi Yang Maha Pengasih, setiap saat. Ada pula yang menjerit menyalahkan Tuhan. “Tuhan tidak adil,” begitulah yang kerap kali terdengar. Seolah-olah ada saja manusia yang adil di muka bumi ini. Manusia ingin selalu terlihat benar. Manusia hanya sibuk mencari pembenaran, bukannya memperbaiki diri. Bukankah manusia memang selalu begitu?
Kali ini kejadian “Hidup tak adil” menimpa Nina dan Nevi. Pengumuman siswa yang terpilih untuk ikut kelas eksklusif telah keluar. Dan diantara mereka berdua, hanya Nevi yang lulus. Belajar siang malam serta berbagai diskusi yang Nina lakukan selama berminggu-minggu ternyata tidak membuahkan hasil. Ia kekurangan 1 poin agar bisa mencapai nilai standart. Apakah Tuhan sedang tidak adil? Atau Tuhan memang tidak pernah adil? Nevi berusaha menghibur Nina, Ia memeluk sahabatnya yang sedang bersedih. Nevi mengatakan bahwa apapun yang terjadi, mereka tetaplah sahabat. Tak akan ada yang berubah. Tak akan ada yang meninggalkan ataupun ditinggalkan.

Kelas eksklusif dan kelas biasa terletak berseberangan. Hanya terpisah oleh lapangan futsal yang selalu dipakai oleh siswa laki-laki. Mereka bermain futsal pada saat jam olahraga, juga saat tidak ada guru yang masuk kelas. Semakin sering guru BP menghukum mereka yang keluar kelas demi bermain futsal, semakin sering pula mereka melanggar aturan ini. Ketika sudah ada siswi terkena bola nyasar, atau ketika Kepala Sekolah lewat, barulah mereka bubar. Lebih tepatnya bersembunyi sejenak sambil mengisi tenaga untuk melanjutkan permainan.

Kelas sedang kosong karena guru yang seharusnya masuk berhalangan hadir karena sakit, jadi siswa hanya dibekalkan beberapa soal yang dari tadi sudah diselesaikan oleh Nina. Sekarang Nina sedang duduk di depan kelasnya sambil membaca Novel yang baru dibelinya kemarin. Novel itu bercerita tentang kisah gadis pemberani yang menjelajahi hutan.

“Hai Nin! Ngapain?” Nevi yang tadi berjalan menggendong bertumpuk-tumpuk buku kini duduk di sebelahnya, membasuh keringat. Antara capek dan kepanasan.

“Biasa, baru beli novel nih. Jadi dicoba dulu, enak ngga-nya,” jawab Nina. Lawan bicaranya hanya mengangguk-angguk lalu tersenyum.

“Kalo udah selesai, pinjam ya!” Nevi memasang wajah riang tak berdosanya. Nina lalu mengiyakan.

Ada seorang gadis yang berjalan mendekati mereka. Wajahnya mulus tanpa jerawat, serta riasan yang Ia pakai. Pewarna bibir tipe soft pink yang terlihat sangat alami serta lensa kontak warna coklat muda menghiasi bibir dan bola matanya. Tas yang Ia gunakan bermerk salah satu brand impor ternama, tak lupa sepatunya yang jika di cek di toko online, harganya tak kurang dari harga smartphone kelas menengah. Nina tentu mengetahui siapa gadis ini. Apalagi Nevi, dia sangat mengenal siapa sosok yang saat ini sudah berdiri di depan mereka dan tersenyum padanya. Dia cantik, namun tatapan matanya tetap saja mengintimidasi.

“Nevi, masuk kelas yuk. Mr. Tom udah otw tuh. Nanti kamu dihukum lagi karena bolos,” katanya masih dengan tatapan mengintimidasi yang kali ini Ia tujukan pada Nina. Namun Nina hanya bisa diam. Selain diam, bisa apa?

“Oh okay, Ri. Aku masuk kelas dulu ya Nin,” Nevi berbicara dengan nada yang canggung. Sejak kapan Nevi seperti ini? Namun Nina hanya bisa tersenyum sambil membiarkan temannya pergi bersama Mori. Ya, gadis “mewah” itu adalah Mori, cucu dari pemilik yayasan yang menyelenggarakan kelas eksklusif, si Orang Terkaya Kelima. Sekaligus adalah teman sekelas Nevi, lebih tepatnya teman baru Nevi.

***

“Sekilas info. Telah terjadi kebakaran hebat di Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat. Sebanyak 31 unit mobil pemadam kebakaran telah diterjunkan ke lokasi kebakaran. Diketahui kebakaran tersebut terjadi sekitar pukul 02.30 dini hari di Blok B Kompleks Pasar Tanah Abang. Diperkirakan sebanyak 136 kios hangus terbakar dari 403 jumlah kios yang ada. Sampai saat ini, penyebab kebakaran masih diduga arus pendek listrik di salah satu kios. Perkembangan proses evakuasi akan kami sampaikan pada Sekilas Info selanjutnya. Terimakasih.”

“Nin bawa HP Ibu kemari,” suara Ibu Nina terdengar bergetar. Nina langsung membawakan handphone tersebut pada ibunya. Sang ibu mulai mengetik nomor telepon yang sangat dihapalnya. Menekan tombol dial lalu menempelkan handphone  ke telinganya. Berharap yang ditelepon segera menjawab. Cemas dan panik.

“Halo, Yah! Giman. . .” Ibu Nina hendak menyelesaikan kalimatnya namun terhenti, mulutnya tak terkatup sedikit pun. Mendengarkan penjelasan dari suara di ujung telepon. Kini matanya telah berair. Tetes demi tetes air jatuh dari matanya. Nina yang duduk di sebelah ibunya menatap dengan penuh tanda tanya. Menanti penjelasan dari ibunya yang kini mulai menangis sesenggukan. Pasti ada yang tak beres, pikir Nina.

“Ada apa bu?” tanya Nina setelah ibunya mengakhiri telepon.

“Toko kita terbakar, Nin. Semuanya habis,” jawab ibunya dengan mata yang masih basah.

“Ayah gimana, Bu? Ayah selamat ‘kan?” tanya Nina lagi. Kini air mata ibunya semakin deras.

“Ayah masih hidup Nin. Tapi . . “ ibu Nina mulai menagis sesenggukan lagi. Nina memeluk ibunya, berusaha berbagi beban meskipun Ia sadar bahwa kesedihan Ibunya tak sebanding dengan kesedihannya. Terkadang memang tak hanya Ibu yang dapat menjadi penenang ketika hati sang anak sedang sedih. Namun sang anak juga dapat menjadi penghibur dikala Ibu bersedih.

“Ayah tertimpa etalase saat hendak menyelamatkan barang yang masih tersisa. Sekarang Ayah sudah dilarikan ke Rumah Sakit dan akan dioperasi malam ini juga,” pelukan Nina semakin erat.
Semenjak musibah kebakaran tersebut, ayah Nina menderita kelumpuhan. Akibatnya Ibu Nina harus bekerja mati-matian demi membiayai hidup keluarga mereka.

“Aku bantu Ibu cari uang aja ya?” Nina berusaha meringankan beban orang tuanya. Ibunya hanya tersenyum simpul.

“Gapapa kok Nin. Gak perlu repot, Ibu masih bisa cari uang sendiri. Nanti Om Riko mau datang kerumah. Mulai besok kamu tinggal sama Om aja ya. Nanti Ibu dan Ayah akan sering-sering main kesana. Ya?” Ibunya membelai rambut Nina dengan lembut. Nina hanya sanggup mengangguk meskipun Ia tak ingin jauh dari Ibunya. Ia ingin selalu ada untuk Ibunya.

***

“Kamu belajar aja yang fokus Nin. Jangan khawatirin Ibu kamu. Om tau beliau orangnya kuat kok. Oke?” Om Riko berusaha menghibur Nina.

“Oke Om. Aku masuk kelas dulu ya Om.” Nina meminta izin lalu membuka pintu mobil sambil menenteng tas ranselnya.

“Makasih ya Om,” Nina tersenyum dan dibalas dengan senyuman hangat dari Om-nya. Ia lalu menutup pintu mobil dan berjalan memasuki kawasan sekolah. Beberapa siswi memperhatikan mobil yang mengantar Nina. Mereka mulai berbisik-bisik sambil menggelengkan kepala.
Selain UKS, Toilet sekolah merupakan tempat pelarian paling indah saat siswa sedang malas belajar atau jika belum siap mengerjakan tugas. Biasanya sakit perut dan kebelet adalah alasan mereka untuk dapat melarikan diri ke toilet. Namun ketika sudah sampai di toilet, bukannya buang air kecil ataupun buang air besar, para siswa justru mulai melakukan aktifitas lain.

“Eh kalian tau gak sih? Si Nina belakangan ini ke sekolah diantar pake mobil terus loh,” salah satu siswi membuka percakapan.

“Iya! Tadi pagi aku juga ngeliat dia diantar pake mobil. Kalian tau gak siapa yang ngantarin dia?” siswi lain mulai menyahut.

“Siapa? Siapa?”

“Om-om ! Umurnya mungkin sekitar tiga puluhan gitu!” siswi tersebut memasang wajah sok tau-nya.

“Ssst kalo nyeritain orang tuh jangan kuat-kuat,” siswi lain mulai menyahuti.

“Udah ah lagian dia kan nggak ada disini, gapapa ju . . .” siswi tersebut tak melanjutkan perkataannya, yang dari tadi diceritakan ternyata muncul, melewati mereka menuju salah satu bilik toilet. Gerombolan siswi tadi pun bergegas meninggalkan toilet, menyadari sebagian percakapan mereka telah terdengar oleh Nina.

Cepat ataupun lambat, gosip Nina yang dekat dengan om-om telah tersebar di sekolah. Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa toko milik keluarganya yang telah ludes terbakar, semakin membuat seluruh isi sekolah percaya bahwa Nina mencari uang jajan tambahan dari perbuatan hina tersebut. Nina yang awalnya acuh tak acuh dengan gosip ini, kini tak tahan lagi. Semenjak kasus ni, Ia belum pernah sekalipun bertemu dengan Nevi. Ia lalu memutuskan untuk menemui sahabatnya itu. Berharap Nevi dapat memberikan solusi karena rasanya tak mungkin Ia menceritakan hal ini pada ibunya yang telah bersusah payah mencari nafkah untuknya dan ayahnya.

“Hai Vi,” Nina menyapa sahabatnya, Ia sedang duduk sendirian di kantin. Nina pun memutuskan duduk di sebelah Nevi, sampai kemudian Nevi menggeser posisi duduknya. Sedikit menjaga jarak dengan Nina. Gadis itu sempat kaget melihat apa yang barusan dilakukan sahabatnya, namun Ia tak begitu ambil pusing. Positive thinking.

“Ada apa Nin?” tanya Nevi. Matanya melihat keadaan sekitar kantin.

“Ini Vi. Aku mau cerita tentang gosip yang beredar. Sebenarnya a . .” belum selesai Nina melanjutkan perkataannya, tiba-tiba Mori muncul.

“Yuk Vi. Nasinya udah aku pesan. Nanti diantar ke kelas kita,” katanya sambil menatap Nina seperti biasa. Tatapan yang mengintimidasi. Kali ini tatapan itu lebih mengerikan dari biasanya, tatapan yang penuh dengan rasa jijik dan benci. Nina hanya terdiam, tak ada yang bisa Ia lakukan.

“Oke. Nin kami balik ke kelas dulu ya,” kata Nevi yang kini sudah pergi tanpa menunggu persetujuan dari Nina. Gadis itu hanya diam, terus terdiam. Apakah yang barusan berbicara padanya itu benar-benar sahabatnya?

Bumi, langit, dan kehidupan di dalamnya tak pernah lepas dari takdir. Terlepas dari kepercayaan seseorang akan takdir, sesuatu yang bersifat kebetulan ataupun sesuatu yang tak disengaja pastilah pernah terjadi dalam hidup tiap-tiap orang. Termasuk hari ini, takdir mempertemukan Nina dan Nevi.
Sekolah sudah nyaris sepi, hanya tinggal beberapa siswa yang hendak mengikuti ekstrakulikuler. Nina berjalan sendirian di koridor sambil membawa buku paket di genggamannya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Nevi yang berjalan dari arah lapangan. Nevi yang menyadari kehadiran Nina lalu berbelok, mengambil jalan lain untuk keluar dari kawasan sekolah. Nina mengejar Nevi, sedikit berlari sampai akhirnya Ia berhasil menggengam pergelangan tangan Nevi.

“Nevi tunggu bentar,” kata Nina yang bingung dengan sikap Nevi sekarang. Lawan bicaranya yang kini sedang berdiri dihadapannya hanya diam. Tak ada respon.

“Aku ada salah sama kau Vi?” mata Nina mulai berkaca-kaca namun lawan bicaranya lagi-lagi hanya bisa diam.

“Nevi, aku mau cerita semuanya ke kau. Tentang gosip yang beredar, tentang kondisi keluargaku, tentang persabatan kita,” Nina berusaha memeluk sahabatnya, namun Nevi mundur. Tak sudi disentuh.

“Persahabatan? Aku tak pernah bersahabat dengan cewek murahan yang mencari uang tambahan dari om-om,” kata Nevi pelan, namun perkataan itu berhasil mencabik-cabik hati Nina.

“Itu om aku Vi. Om Riko, kau ingat kan? Yang dulu pernah aku kenalin ke kau,” Nina berusaha meyakinkan sahabatnya.

“Dari mana aku bisa percaya sama kata-katamu?” tanya Nevi.

“Jadi kau lebih percaya sama gosip yang beredar dari pada sama aku sahabatmu Vi?” tangis Nina tak terbendung lagi.

“Sorry Nin. Setidaknya Mori gak pernah bohong ke aku,” setelah mengucapkan kalimat yang menyayat hati itu, Nevi lalu pergi. Sedikit menabrak bahu Nina hingga buku yang digenggamnya jatuh berserakan, namun Nevi tak menggubris. Ia tetap berjalan, meninggalkan sahabatnya. Mantan sahabatnya. Kini Nina telah kehilangan segalanya bahkan sahabat yang dulu telah berjanji tak akan meninggalkannya.

***

Langit berwarna jingga kemerahan menghiasi jembatan sore ini. Anak-anak berusia sekitar enam hingga tujuh tahun bermain di bantaran sungai. Berkejar-kejaran dan tertawa lepas tanpa beban. Masa kanak-kanak memang merupakan masa yang paling indah, tanpa beban. Nina sedang duduk di bebatuan di bawah jembatan, memperhatikan anak-anak tersebut sambil mengenang sahabatnya. Ya, meskipun kini Nevi telah memilih untuk bersama Mori dan meninggalkannya, Nina tetap menganggap Nevi sebagai sahabatnya. Terdengar bodoh memang.
Perlahan langit mulai gelap, angin bertiup kencang. Anak-anak yang tadinya bermain berkejar-kejaran, kini lari lebih kencang lagi. Ada yang berputar-putar, ada pula yang berlindung di teras. Sebagian dari mereka mencuri kesempatan menampung air dengan tangan kecilnya lalu memercikkannya ke wajah temannya yag lain. Ada pula yang melipat kertas, membentuk kapal-kapalan. Meletakkannya di atas genangan air yang mulai meninggi sambil berteriak, “Itu punyaku!” seakan ada saja yang hendak mengambilnya. Di sela pekik teriakan mereka terlihat pula para gadis dan remaja tanggung tengah sibuk mengangkat kain di jemuran sambil menjerit menyuruh anak-anak tadi masuk ke rumah. Memaksa mereka mandi dan makan malam.

Hujan turun, kini semakin deras. Berbeda dari hujan biasanya, kali ini air hujan terasa begitu tajam menderu menusuk punggung Nina. Namun hal itu tak membuatnya lantas pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk naik ke jembatan, dengan sisa tenaga yang ada. Berdiri sejenak di tepi dan memandang langit gelap, lantas perlahan merangkak melewati pagar pembatas jembatan dan berpegangan pada besi-besi yang ada. Kakinya gemetaran memandang ke bawah, riak air yang begitu menderu ditimpa hujan. Kini tinggal salah satu tangannya saja yang  masih berpegangan di besi pembatas. Nina menutup mata. Terlintas bayang-bayang saat pertama kali Ia bertemu Nevi, saat Nevi memeluknya, menghiburnya. Terlintas pula bayangan saat keluarganya masih seperti dulu, saat sebelum kebakaran itu terjadi. Air mata Nina mengalir deras, bercampur dengan hujan yang tak kalah deras. Sekarang bayangan itu berubah menjadi wajah teman-temannya yang menatapnya dengan jijik, wajah Mori, air mata ibunya, dan yang terakhir adalah perkataan Nevi semalam siang. Seluruhnya terekam jelas dan secara tak dikehendaki diputar kembali dalam kepalanya. Nina terisak. Lantas Ia menggigit bibir bawahnya agar tak seorang pun mendengar isakannya. Ia melepas genggamannya.

***

“Hei bangun,” seseorang mengguncang tubuh ringkih Nina yang kini basah kuyup, campuran air hujan dan air sungai.

“Hei,” kini orang itu lebih keras lagi memanggil Nina. Berharap yang dipangggil segera sadar. Betul saja, tak lama kemudian tangannya mulai bergerak meraih wajahnya hendak mengusap air yang ada. Sedikit terbatuk-batuk akibat air yang masuk ke tenggorokan, serta mata yang merah dan bengkak. Nina sadarkan diri, setelah hampir satu jam pingsan. Matanya kini menatap heran pada gadis yang sedang duduk dihadapannya. Seorang gadis yang sepertinya seumuran dengannya. Lalu Ia pun melihat sekeliling, sebuah rumah tua yang sepertinya dengan satu hempasan angin saja akan langsung rubuh.

“Aku tadi melihatmu hanyut terbawa air sungai, di tengah hujan. Aku Dianara, panggil aja Nara. Kau siapa?” kata gadis itu seakan-akan mampu membaca isi kepala Nina.

“Nirwana, biasa dipanggil Nina.”

“Jadi kenapa bisa hanyut di sungai?” gadis itu bertanya pada Nina. Ia pun diam sejenak, berusaha mengingat kembali semua yang telah terjadi. Tanpa sadar matanya mulai berair. Nina hanya mampu menggeleng.

“Ya, memang ada beberapa hal yang agak sulit untuk diceritakan dengan orang baru.” Gadis itu berkata santai lalu pergi ke dapur, menghilang beberapa saat dan kembali dengan segelas teh hangat di gengamannya.

“Terimakasih,” kata Nina sambil tersenyum sesaat setelah menerima gelas berisi teh tersebut.

“Ngomong-ngomong, dimana orang tua dan saudaramu?” akhirnya Nina membuka percakapan setelah beberapa menit larut dalam teh hangat, juga dalam pikirannya.

“Orang tuaku pergi, dan aku tak punya saudara,” gadis itu menjawab santai.

“Pergi kemana?” Nina bertanya heran.

“Ayahku pergi ke Surga, sedangkan ibuku pergi ntah kemana. Dia tak pernah menemuiku lagi,” Nara kini tertunduk. Tampak murung. Nina pun jadi serba salah karena sudah bertanya seperti itu pada Nara. Ia pun meminta maaf. Sejak saat itu mereka berteman, dan semakin dekat.

***

Sinar matahari dengan hangat menyapa, merangkul setiap hati yang sedang tumbuh, sedang patah, ataupun sedang berusaha memulihkan diri. Senja selalu indah dari waktu-waktu lainnya. Sore ini Nina dan Nara sedang duduk di bebatuan di bawah jembatan. Ya, jembatan yang dulu adalah tempat Nina ingin mengakhiri hidupnya secara paksa, jembatan yang dulu menjadi saksi bisu betapa berat beban yang Ia pikul, jembatan yang dulu merupakan awal pertemuan mereka berdua.

“Wah langitnya keren ya Nin,” Nara tersenyum menatap langit sore itu, duduk santai di samping Nina sambil membetulkan topi yang Ia pakai.

“Iya, keren. Aku jadi ingat betapa bodohnya aku mau mengakhiri hidup, dan meninggalkan dunia yang seindah ini,” Nina tertawa getir. Ya, Nina telah menceritakan segalanya pada Nara. Segalanya, dan untung saja Nara tetap mau menerima Nina apa adanya sebagai teman bahkan saudara tak sedarah.

“Manusia memang sepertiitu, Nin. Ketika Ia tak mampu menerima kenyataan hidup serta kemalangan yang ditimpakan padanya, manusia cenderung menyalahkan. Pertama sekali pasti menyalahkan orang-orang di sekelilingnya, berpikir  bahwa merekalah penyebab dari penderitaan yang Ia rasakan. Sama seperti kau yang menyalahkan Mori yang menjadi perusak hubunganmu dengan Nevi. Selanjutnya manusia akan menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak adil. Itulah katanya, padahal tak ada satu manusia pun yang adil di bumi ini. Kau pasti pernah menyalahkan Tuhan `kan?” Nina tertunduk, mengangguk.

“Lalu ketika Ia tak menemukan satu kesalahan pun pada Tuhan, manusia mulai menyalahkan takdir. Ia mulai berpikir bahwa hidup tak ada gunanya lagi. Mati lebih baik. Tanpa sadar mereka telah membiarkan diri menjadi bara di kerak Neaka. Tuhan tentu tak akan membiarkan nyawa yang memutuskan untuk mati secara paksa untuk menjadi penghuni Surga-Nya. Itulah yang terjadi padamu Nin, seminggu yang lalu. Kau mulai menyalahkan takdir, padahal Sang Penentu Takdir adalah Tuhan itu sendiri. Kau pun berencana dan memutuskan untuk mengakhiri hidup. Namun langit berkata lain, kau belum ditakdirkan untuk mati. Belum ditakdirkan untuk menjadi penghuni kerak Neraka,” Nara dan Nina saling tersenyum.

“Memang banyak orang mengatakan, perpisahan paling menyakitkan adalah perpisahan oleh kematian. Namun bagiku, perpisahan paling sakit bukanlah itu. Melainkan perpisahan yang 99%” lanjut Nara. Nina memerhatikan dengan seksama, berharap lawan bicaranya segera menyelesaikan penjelasannya. Penasaran.

“Ayahku telah meninggal, dan aku sama sekali tak bisa bertemu dengannya di dunia ini. Namun aku tak pernah merasa sedih, karena aku yakin sekarang dia pasti baik-baik saja bersama Sang Pemilik Kehidupan. Aku juga yakin sampai sekarang dia masih memerhatikanku dan mencintaiku,” Nara berhenti sejenak, menarik nafas. Terasa kini kerongkonganya berat mengering.

“Lain dengan Ibuku. Ya, kami hanya berpisah 99%. Mungkin aku belum pernah mengatakan ini padamu, tapi aku kerap kali melihat Ibuku dan setiap kali aku melihatnya, aku ingin sekali menyapanya. Bertanya padanya apakah Ia baik-baik saja? Apakah Ia masih mencintaiku? Dan bagaimana kehidupannya sekarang? Namun semakin ingin aku mendekat lagi padanya, semakin aku sadar. Dia tak menginginkanku lagi. Kami telah berpisah 99%. Bagian sisanya yang 1% hanyalah kenyataan bahwa kami masih ada di bumi yang sama. Namun hati dan jiwa kami tak bisa bertemu,” Nara tersenyum namun matanya berair. Kini Ia menatap Nina, seakan tahu bahwa Nina ingin mengatakan sesuatu.

“Dan hal itu pula yang aku dan Nevi rasakan. Kami berpisah 99%. Aku bisa saja bertemu dengannya di sekolah, bahkan di luar sekolah. Namun hati kami seperti tak bisa bertemu seperti dulu lagi. Setiap aku melihatnya tertawa bersama Mori dan teman-temannya yang lain, dalam hati aku selalu bertanya, apakah Ia benar baik-baik saja? Apakah tawa dan senyumnya itu adalah pertanda dia sudah bahagia tanpaku? Namun Tuhan tampaknya tak menginginkanku untuk bertemu ataupun berbincang-bincang lagi dengannya.” Nina menghela napas berat lalu tersenyum getir, pertanda perasaannya kini campur aduk.

“Aku ingin sekali marah padanya, memukulnya, menghujaninya dengan kata-kata kasar bahkan makian. Namun aku sadar, aku tak bisa. Aku tak bisa menyakiti hatinya, karena aku masih menyayanginya. Dia dulu adalah orang yang spesial bagiku, sahabatku dan dia masih memiliki tempat di hatiku. Meskipun aku telah diusir keluar dari hatinya. Begitu pula yang kau rasakan ‘kan?” Nina melirik Nara. Gadis itu mengangguk.

“Setidaknya, setelah aku kehilangan Nevi. Setelah Nevi meninggalkanku dan mengusirku keluar dari hatinya. Aku menemukanmu. Lebih tepatnya kau menyelamatkanku. Bukan hanya dari peristiwa bunuh diri itu, tapi juga dari keterpurukanku. Dari sikapku yang selalu menyalahkan, mencari pembenaran, tanpa bisa menerima rencana Tuhan. Makasih ya, Ra.” Nina berkata lirih namun tulus. Setulus Nara yang ingin meringankan bebannya.

“Mungkin aku juga adalah bagian dari rencana Tuhan di hidupmu, Nin. Seperti yang dulu pernah dikatakan orang saat ayahku meniggal: dari setiap kehilangan, Tuhan akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Tuhan membiarkanku bertemu denganmu agar aku tidak sendiri lagi di dunia ini, juga agar kau tak lagi putus asa dan menyalahkan-Nya.”

Kata orang, semakin banyak kita bersahabat, akan semakin banyak pula warna di hidup kita. Sahabat, adalah mereka yang dengan setia menghibur kita serta menerima kekurangan kita. Sahabat bisa datang dari mana saja, bahkan dari situasi yang tak terduga. Sahabat adalah keluarga yang dapat kita pilih sendiri. Sahabat, sahabat, dan sahabat.  Kini Nina telah menemukan sahabatnya, yaitu Dianara.

**TAMAT**

Ps: mencontek karya orang lain tanpa izin adalah dosa besar.
Xoxo

PUISI: Kabar Untuk Samudera

Wahai Samudera, bagaimana kabarmu?
Sudikah kau mendengarkan sebuah cerita dariku?
Kau masih ingat manusia?
Mereka yang dulu hanya sepasang kini sudah milyaran jumlahnya

Mereka yang dulu taat kepada DIA, kini telah berubah
Berbalik arah, merasa paling berkuasa
Saat semua mata tertuju pada mereka, ntah dimana nama TUHAN digantung
Siapa itu TUHAN? Mereka tak tahu

Lalu ketika musibah datang
Mereka merintih hingga meronta
Berdoa, memohon, dan berharap
Seakan mereka begitu dekat dengan-NYA

Berharap TUHAN mendengar, Apa DIA pernah menutup telinga?
Apa DIA pernah pura-pura tuli? Atau memalingkan muka?
Berharap TUHAN membalas jeritan mereka, Apa mereka pernah mengingat Nama-NYA?
Ketika DIA memanggil, mereka dimana? Sibuk dengan dunia!

Berharap TUHAN menjadi pengasih dalam sehari
Padahal DIA-lah “Sang Maha Pengasih” setiap saat
Berharap TUHAN berlaku adil
Seakan ada saja manusia yang adil di muka bumi

Sadarlah manusia, kau telah ditipu oleh dunia!
Kau telah ditimang-timang, disayang-sayang
Sadarlah manusia, siapa dirimu yang sebenarnya!
Mohon ampunlah pada-NYA

Xoxo